(DAYEUHLUHUR , Parahiangan DI BUMI JAWA)
Dayeuhluhur, saat ini merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Indonesia. Wilayah ini memiliki keistimewaan sebagai salah satu kecamatan yang ada di Cilacap yang mengamalkan budaya Sunda. Kuatnya tradisi Sunda di Kecamatan Dayeuluhur ditandai dengan tatacara kehidupan sejak kelahiran sampai kematian secara ala Sunda termasuk bahasa daerah, pakaian adat, maupun kuliner dan seni.
Ada tradisi ngarupus saat memberi nama pada anaknya yang baru lahir. Disamping tradisi khitanan sesuai syariat islam untuk anak laki-laki (biasanya dilaksanakan saat masih anak-anak, belum sekolah) juga ada tradisi sepitan/Tetes untuk anak perempuan. Menjelang bulan suci ramadhan dikenal tradisi munggahan. Untuk acara hajatan sunatan maupun pernikahan diadakan tradisi tetebah, dilanjutkan mapajang dan pelaksanaan hajatan dengan menanggap seni tradisional sunda seperti wayang golek, ibing jaipong, ronggeng, pongdut (jaipong dan dangdut)
Untuk kuliner dan seni memasak, secara tradisionil memasak nasi dengan menggunakan langseng semacam dandang dari kuningan dengan metode gigih dan kukus serta akeul menggunakan pane semacam kuali dari kayu dan pemanasnya dengan kayu bakar dalam hawu. Tatacaranya, setelah beras dicuci dimasukan dalam kukusan anyaman bamboo bentuk kerucut, langseng diberi air diletakan di atas hawu dengan kayu bakar yang menyala, kukusan dimasukan langseng sampai air mendidih, beras yang sudah kena uap air mendidih dimasukan pane ditambahkan air mendidih dan diudak-udah (gigih) lalu dimasukan kukusan lagi dan dimasukan ke langseng lagi sampai masak kemudian dimasukan ke pane dan diaduk sambil dikipasi (di akeul). Maka jadilah nasi yang hangat dan pulen sehingga jika dikepal tangan tidak akan melekat ke tangan, siap untuk dihidangkan atau dibuat nasi timbel yang dibungkus daun jati atau daun pisang yang diasap terlebih dahulu. Keistimewaan nasi timbel ini dapat bertahan sampai 2 (dua) hari. Untuk jenis masakan tradisionil berupa pepes ikan, pepes ayam, bobotok udang, pepecak ikan, karedok, soto, pecel, urab, oseng-oseng, ikan asin, dage, dan yang menjadi ciri kesundaannya berupa sambal terasi, sambal tolenjeng dan lalapan lengkap berupa timun, leunca, terong, daun antanan, daun mete, daun kencur, daun mareme, daun singkong rebus, daun karet, surawung, cakracikri,kenikir, petai, jengkol dll. Untuk kudapan tradisionil berupa ulen, buras, kaloa (biasanya kulit jeruk bali atau buah pepaya), sale pisang, galendo, katapang, belekem, saroja, bolu, lakar rengginang, rubi, opak, singkong celup gula aren/kelapa, dengan minuman umumnya teh pahit tanpa gula.
Pakaian adat digunakan hanya pada acara seremonial sunatan dan pernikahan dengan pakaian adat sunda, demikian pula dengan peralatan senjata tajam sehari-hari yang dibawa berupa bedog atau golok bergagang tanduk yang selalu disoren terikat di pinggang untuk kerja pertanian sehari-hari. Rumah adat dahulu (saat ini sulit ditemui) berupa rumah panggung. Secara ekonomi pertanian, masyarakat Dayeuhluhur dikatakan berstatus social mampu apabila memiliki rumah, kebun (kelapa,kopi,cengkeh,karet), sawah (padi) dan balong kolam ikan serta peliharaan kambing/sapi atau unggas.
Bahasa daerah yang digunakan sehari-hari yatu bahasa Sunda dan karena seringnya interakasi dengan warga yang ada di Jawa Barat. Untuk masalah interaksi dengan daerah di luar Dayeuhluhur, warga kebanyakan berinteraksi dengan warga Jawa Barat, hal ini dikarenakan masalah ekonomi. Warga Dayeuhluhur memiliki ketergantungan terhadap Kota Banjar dalam masalah pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat. Sebagai contoh, apabila warga menjual hasil bumi seperti padi, kelapa, pisang, buah-buahan, dll. 95% akan dijual ke Jawa Barat. Hal ini dipermudah dengan dekatnya akses dari Dayeuhluhur ke Kota Banjar yang cukup ditempuh 15 menit (dari Panulisan) dibandingkan jarak Dayeuhluhur ke Majenang yang bisa memakan waktu sekitar 1 jam.
Hampir 70 persen dari 50.219 warga-yang terdiri dari 24.970 wanita dan 25.249 pria-yang tersebar di 14 desa di Dayeuhluhur yang memiliki luas 18.056,183 hektar, merupakan orang Sunda yang tidak dapat berbahasa Jawa.Masih kuatnya tradisi Sunda di Dayeuhluhur diduga juga disebabkan lebih dekatnya jarak Dayeuhluhur dengan daerah di Jawa Barat, seperti Ciamis atau Kota Banjar, daripada dengan kota di Jawa Tengah, seperti Majenang atau Cilacap.Dayeuhluhur-Cilacap berjarak sekitar 120 kilometer, dan Dayeuhluhur-Majenang sekitar 30 kilometer. Sementara jarak Dayeuhluhur-Banjar hanya sekitar 10 kilometer dan Dayeuhluhur-Ciamis berjarak 25 kilometer.Dekatnya jarak Dayeuhluhur dengan Banjar atau Ciamis jika dibandingkan dengan Cilacap dan Majenang membuat sebagian besar masyarakat daerah itu lebih banyak berinteraksi dengan warga Banjar atau Ciamis yang bersuku Sunda. “Kalau ada apa-apa, seperti membeli kebutuhan sehari-hari, saya selalu ke Banjar. Sebab lebih dekat. Naik angkutan umum hanya Rp 1.000, sementara kalau ke Majenang Rp 2.500,” tradisi Jawa di Dayeuhluhur selama ini hanya ditanamkan atau dilaksanakan oleh para pendatang, terutama guru dari Yogyakarta atau Jawa Tengah. “Kalau pegawai Kecamatan Dayeuhluhur, sebagian besar masih orang Sunda, karena mereka umumnya masyarakat setempat,”
Desa/kelurahan
1. Bingkeng
2. Bolang
3. Cijeruk
4. Cilumping
5. Ciwalen
6. Datar
7. Dayeuhluhur
8. Hanum
9. Kutaagung
10. Matenggeng
11. Panulisan
12. Panulisan Barat
13. Panulisan Timur
14. Sumpinghayu
Ketertinggalan pembangunan daerah dari sisi prasarana dibandingkan daerah lain di Jawa Tengah membuat gejolak keinginan memisahkan diri dari Kabupaten Cilacap dengan Membentuk Kabupaten Cilacap Barat bersama Wanareja, Majenang, Cimanggu, Sidareja, Cipari, Patimuan maupun Karangpucung, bahkan bila perlu bergabung dengan Jawa Barat.


CERITA DAYEUHLUHUR
Tahun 1475 Kerajaan Daya Luhur ( Dayeuh Luhur ) didirikan oleh Prabu Gagak Ngampar,putra mahkota kerajaan sunda ( Galuh Purba ) dibawah kekuasaan Raja Sri Prabu Niskala Wastu Kencana yang bertahta selama 104 tahun,Kerajaan Daya Luhur merupakan wilayah pemekaran Kerajaan Pasir Luhur.Prabu Gagak Ngampar memiliki putra mahkota kembar,yaitu Ki Hadeg ciluhur dan Ki Hadeg Cisagu,keduanya memiliki hak atas tahta kerajaan yang sama,demi keadilan Prabu Gagak Ngampar membagi wilayah Kerajaan Daya Luhur menjadi 3 ( tiga ),
Daya Luhur dengan pusat pemerintahan Istana Salang Kuning di Dayeuhluhur,Kadipaten Majenang dipimpin Adipati Ki Hadeg Ciluhur berpusat di Istana Candi Kuning Gunung Padang Salebu Majenang,Kadipaten Penyarang dipimpin oleh Adipati Ki Hadeg Cisagu dengan istana Candi Laras di Desa Kunci Sidareja.
Demi kelangsungan Trah Kerajaan Daya Luhur,Putra Ki Hadeg Ciluhur dikawinkan dengan Putri Ki Hadeg Cisagu,Lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Arsagati.Arsagati menggantikan kakeknya menjadi raja Daya Luhur kedua,Arsagati menurunkan Raksagati menjadi raja ketiga,dan raja keempat adalah putra Raksagati,bernama Harsapraja atau Reksapraja.Masa transisi dari kerajaan ke status Kadipaten dayeuhluhur,atas kekalahan perang melawan Kerajaan Mataram dan tunduk dibawah kedaulatan Mataram,pimpinan kelima Daya Luhur berstatus sebagai Adipati ( Bupati ) bernama Wirapraja anak dari isteri selir Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Kartasura Hadiningrat,Adipati keenam Wiradika I putra kedua Wirapraja,Adipati ketujuh Wiradika II,menurunkan sebelas anak,anak keenam bernama Wiradika IIIterlahir dari isteri keturunan Keraton Kartasura ( Putri Tumenggung Wiraguna ),ketika dilantik menjadu Adipati Daya Luhur ke Delapan Wiradika III bergelar Raden Tumenggung Prawiranegara,merupakan Bupati terakhir Kadipaten Dayeuhluhur ( 1831 ) dan wilayahnya digabungkan dengan Kadipaten Banyumas oleh pemerintahan Kolonial Belanda,Pasca Perang Dipanegara ( 1825-1830 ).
Ketika Kerajaan Pajang runtuh digantikan oleh Kerajaan Mataram ( 1587-1755 ) didirikan oleh Panembahan Senapati.Pada tahun 1595 Kerajaan Mataram mengadakan ekspansi                          ( perluasan wilayah ),menaklukan Kerajaan Adireja di Adipala,menggempur Kerajaan Galuh di Priangan Timur,dan menundukkan Kerajaan Daya Luhur ( Dayeuhluhur )yang dipimpin oleh raja Prabu Gagak Ngampar yang berpusat di Istana Salang Kuning dan memiliki wilayah dua Kadipaten,yaitu Kadipaten Majenang yang berpusat di Istana Candi Kuning,di Gunung Padang Desa Salebu Majenang,dengan Adipati ( Bupati ) Ki Hadeg Ciluhur,serta Kadipaten Penyarang dengan Istana Candi Laras di Desa Kunci Sidareja dibawah Kekuasaan Adipati Ki Hadeg Cisagu.
Ki Hadeg Ciluhur dan Ki Hadeg Cisagu adalah putra mahkota kembar Prabu Gagak Ngampar pendiri Kerajaan Daya Luhur ( 1475-1831 ) yang diberi tanah perdikan untuk dijadikan pusat pemerintahan dengan status Kadipaten.Istana Candi Kuning dan Istana Candi Laras oleh Kerajaan Mataram dibawah kekuasaan Panembahan Senapati dibumi hanguskan,Istana Candi Kuning yang memiliki Pilar Batu sepanjang 33,3 meter ( 33,3=9 ) diruntuhkan,dan dibongkar,rumah penduduk dibakar menjadi karang abang,selama berminggu-minggu langit majenang menjadi abu-abu,lantaran banyaknya lebu-lebu ( debu ) beterbangan diangkasa,untuk mengenang peristiwa tersebut,warga yang selamat memberi tetenger untuk nama desa yaitu Desa Salebu Kecamatan Majenang,reruntuhan Istana Candi Kuning,berupa Batu berbagai bentuk dan ukuran mulai dari 45 X 45 Cm,hingga segi delapan,dan Pilar bekas penyangga Istana Candi Kuning kini menjadi “Kunci” saksi sejarah berupa BCB ( Benda Cagar Budaya ),yang jumlahnya mencapai ratusan ribu batu disatu tempat,terkuaknya “Misteri Istana Candi Kuning di Gunung Padang Majenang” yang selama ini oleh anak cucu keturunan Trah Kerajaan ( Kadipaten ) Daya Luhur ditutup-tutupi dan pamali atau tabu untuk disiarkan,dan diketahui oleh keturunannya,menyiratkan rekaman peristiwa sejarah atas kekalahan mempertahankan kedigdayaan Kerajaan Daya Luhur dari gempuran “Penjajah!” yakni Kerajaan Mataram dibawah kekuasaan Panembahan Senapati.Sang leluhur tatar Cilacap ini,merasa bersalah dan tidak mampu mempertahankan kejayaan Kerajaan                             ( Kadipaten ) Daya Luhur,sebagai pemerintahan pribumi pertama yang ada,kekalahan dan penderitaan leluhur kita melalui para juru kunci ( Kuncen ) yang rata-rata sudah mencapai 7       ( Tujuh ) turunan,telah dengan sengaja menutup pintu informasi,supaya anak cucu cicitnya tidak menyimpan dendam kesumat,sehingga di Tatar Cilacap tercipta kondisi keamanan yang kondusif.
Sedikitnya ada 7 ( tujuh ) Buku Kuna dalam bentuk gancaran,juga berita tentang keberadaan Kerajaan Daya Luhur ( Dayeuhluhur ),seperti yang tertulis dalam buku Babad Padjajaran Doemagi Padjang Koleksi Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat,dalam buku tersebut Kerajaan Daya Luhur,ditulis Kerajaan Dailur.
Asal-usul Prabu Gagak Ngampar pendiri Kerajaan Daya Luhur ( Dayeuhluhur ),Sri Prabu Niskala Wastu Kencana adalah raja besar yang bertahta selama 104 tahun di Kerajaan Sunda ( Galuh Purba ),memiliki putra mahkota bernama Banyak Catra atau Banyak Sasra dalam pengembaraannya ke wilayah timur menuju kerajaan Pasir Luhur yang berpusat di Istana Taman Sari pinggir sungai Logawa,Karang Lewas Purwokerto,Banyak Catra memakai nama samaran Raden Kamandaka.Banyak Catra memiliki adik kandung bernama Gagak Ngampar atau Banyak Ngampar juga memiliki nama samaran Silih warni,Banyak Catra dan Gagak Ngampar memiliki adik tiri dari selir sang raja,bernama Banyak Blabur.
Banyak Catra alias Raden Kamandaka diangkat sebagai menantu sekaligus menggantikan kedudukan sang mertua,Sri Baginda Maha Prabu Kendadaha,Raja kedelapan Kerajaan Pasir Luhur,atas jasa-jasanya terhadap Kerajaan Pasir Luhur dalam peperangan melawan Kerajaan Maritim Nusakambangan dibawah kebesaran Raja Pule Bahas,yang ditikam dengan Tjis ( Keris Kecil ) oleh Lutung Kasarung yang tidak lain adalah Raden Kamandaka,dalam perang antara Kerajaan Pasir Luhur dengan Kerajaan Nusakambangan,peran Gagak Ngampar sangat menentukan kemenangn karena Gagak Ngampar membantu kakaknya Raden Kamandaka,dengan membawa satu peleton Pasukan bersenjata lengkap yang menjadi ujung tombak kekuatan.Atas kemenangan ini Raden Kamandaka dijadikan menantu dengan mempersunting Ciptarasa,dan menggantikan Tahta sang mertua menjadi Raja Pasir Luhur,sedangkan Gagak Ngampar diberi kekuasaan untuk mendirikan Kerajaan Daya Luhur  ( 1475 ),Kerajaan Daya Luhur adalah pemekaran dari Kerajaan Pasir Luhur,dan wajib mengirimkan upeti setiap tahun kepada Kerajaan Induk Pasir Luhur.


Saat Raja besar Sunda Sri Prabu Niskala Wastu Kencana berniat lengser keprabon,dipanggilah ketiga puteranya yaitu, Banyak Catra ( Raden Kamandaka ),Gagak Ngampar ( Silih Warni ),dan Banyak Blabur yang terlahir dari isteri selir.Ketiganya menghadap sang raja lengkap dengan persyaratan,Banyak Catra diiringi 40 Orang Putri dari Kerajaan Pasir Luhur,Gagak Ngampar diiringi 40 Orang putri dari Kerajaan Daya Luhur,dan Banyak Blabur disertai 40 putri dari Banten.ketiganya lolos seleksi persyaratan juga tes kedigdayaan ilmu kanuragan,giliran persyaratan akhir untuk menentukan siapa yang akan menggantikan kedudukan Tahta Raja Sunda,menghadaplah ibunda Banyak Blabur menuntut janji kepada sang raja Sri Prabu Niskala Wastu Kencana,atas jajninya jika ia kelak melahirkan seorang anak laki-laki,akan dijadikan raja menggantikan kedudukan ayahandanya.Hasil sidang para Pengageng Kerajaan Sunda dengan raja mensyaratkan yang dapat menggantikan tahta,adalah anak yang phisiknya utuh,tanpa cacat sedikitpun,yang pertama dites adalah Gagak Ngampar melalui wawancara panjang dan diagnosa phisik terdapat cacat menahun pada kepala sebelah kiri,karena pernah retak saat perang melawan Pule Bahas,Raja Nusakambangan.Giliran Kedua Banyak Catra dalam wawancara lulus gemilang,ketika dites phisik terdapat luka gores memanjang di lambung kanan perut akibat tusukan Patrem ( Keris Kecil tanpa luk),oleh adiknya Gagak Ngambar alias Silih Warni saat bertanding menentukan kebenaran bahwa Banyak Catra alias Raden Kamandaka adalah prajurit dari kerajaan Sunda,peristiwa itu terjadi diatas Watu Sinom ( Batu Muda ) sebesar rumah Kecamatan Kedung Banteng Kabupaten Banyumas.Karena Banyak catra maupun Gagak Ngampar pad badannya terdapat luka,maka pilihan terakhir yaitu Banyak Blabur yang kedapatan secara phisik mulus,maka lulus menggantikan kedudukan ayahanda menjadi Raja Kerajaan Sunda  ( Galuh Purba ),ketika “Naik Tahta” Banyak Blabur bergelar Prabu Siliwangi,dan memindahkan pusat Kerajaan Sunda kedaerah Pakwan Pajajaran ( Bogor sekarang ),dan dikemudian tahun Kerajaan Sunda lebih popular disebut sebagai Kerajaan Padjajaran dengan raja besar Prabu Siliwangi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SDN Dayeuhluhur 01: PERUBAHAN PROFIL SDN DAYEUHLUHUR 01